Jakarta, yang dahulu dikenal sebagai Batavia, memiliki sejarah tata kota yang kompleks. Transformasi kota ini tidak terjadi dalam semalam, melainkan melalui proses panjang yang dipengaruhi oleh kebijakan kolonial, kondisi lingkungan, dan wabah penyakit. Salah satu fase terpenting dalam sejarah Jakarta adalah perluasan wilayah dari “Batavia Lama” (Kota Tua) menuju kawasan selatan yang lebih sehat, yaitu Weltevreden (sekarang Jakarta Pusat).
Berikut adalah ringkasan sejarah perkembangan tata kota Batavia pada masa Hindia Belanda.
1. Awal Mula Batavia: Kota Kanal Bergaya Belanda
Pada awal abad ke-17, VOC di bawah Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen membangun Batavia di atas reruntuhan Jayakarta. Kota ini dirancang meniru kota-kota di Belanda dengan ciri khas:
- Sistem Kanal: Dibangun untuk drainase dan transportasi, mirip dengan Amsterdam.
- Dinding Kota: Memisahkan pusat pemerintahan dan hunian Eropa dari penduduk lokal.
- Arsitektur: Rumah-rumah dengan atap curam dan fasad sempit.
Namun, arsitektur ini tidak cocok dengan iklim tropis. Kanal-kanal yang airnya tidak mengalir lancar akibat sedimentasi lumpur sungai berubah menjadi sarang nyamuk dan sumber penyakit.
2. Wabah Penyakit: Pemicu Utama Perpindahan
Memasuki abad ke-18, kondisi Batavia Lama memburuk drastis. Sanitasi yang buruk menyebabkan berbagai wabah penyakit, terutama Malaria dan Disentri. Tingginya angka kematian di kalangan orang Eropa membuat Batavia mendapat julukan menyeramkan: “Kuburan Orang Eropa” (Het Graf der Europeanen).
Kondisi lingkungan yang tidak sehat ini memaksa para pejabat VOC dan orang kaya untuk mencari tempat tinggal baru ke arah selatan yang lebih tinggi, kering, dan berudara segar.
3. Lahirnya Weltevreden: Kawasan “Kepuasan” Baru
Perluasan ke selatan dimulai secara bertahap melalui kepemilikan tanah oleh tokoh-tokoh penting:
- Antonij Paviljoen (1648): Memiliki lahan luas yang kelak dikenal sebagai Paviljoensveld (sekarang Lapangan Banteng).
- Cornelis Chastelein (1693): Membeli lahan Paviljoen dan wilayah sekitarnya (Pasar Baru, Gambir, Pejambon). Ia menamai kawasan rumah peristirahatannya di tikungan Ciliwung sebagai Weltevreden, yang berarti “Kepuasan” atau “Dalam Suasana Puas”.
- Justinus Vinck (1733): Membuka dua pusat perdagangan besar yang masih ada hingga kini, yaitu Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang, serta membangun jalan penghubung (sekarang Jl. Prapatan dan Jl. Wahid Hasyim).
4. Era Daendels dan Pusat Pemerintahan Baru
Perubahan paling radikal terjadi pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808–1811). Untuk menghindari serangan Inggris dan wabah penyakit, Daendels memindahkan pusat pemerintahan secara resmi dari Kota Tua ke Weltevreden.
Langkah-langkah Daendels meliputi:
- Penghancuran Tembok Kota: Batu-batu dari benteng Batavia Lama digunakan untuk membangun istana dan gedung pemerintahan di wilayah baru.
- Waterlooplein (Lapangan Banteng): Dijadikan pusat alun-alun (Paradeplaats) yang dikelilingi gedung pemerintahan, istana gubernur (Witte Huis), dan fasilitas militer.
- Koningsplein (Medan Merdeka/Monas): Lapangan luas yang menjadi pusat rekreasi dan militer, dikelilingi oleh hunian elit masyarakat Eropa.
5. Perbedaan Tata Kota: Kota Tua vs Weltevreden
Perpindahan ini menciptakan dua karakter kota yang berbeda dalam satu wilayah:
| Fitur | Batavia Lama (Kota Tua) | Weltevreden (Jakarta Pusat) |
| Fungsi | Pusat perdagangan & pelabuhan | Pusat pemerintahan & hunian elit |
| Tata Ruang | Padat, kanal sempit, tertutup tembok | Luas, taman terbuka, konsep “Garden City” |
| Arsitektur | Rapat bergaya Eropa Abad-17 | Bangunan luas dengan beranda besar (Gaya Indis) |
| Kesehatan | Sanitasi buruk, rawan wabah | Udara lebih bersih dan sehat |
Kesimpulan
Transformasi dari Batavia Lama ke Weltevreden bukan hanya sekadar perpindahan lokasi, melainkan perubahan konsep urbanisasi. Dari kota dagang yang padat dan tidak sehat, Batavia berkembang menjadi kota kolonial modern dengan tata ruang yang luas dan terencana. Warisan Weltevreden ini kini menjadi pusat pemerintahan Republik Indonesia, meliputi area sekitar Lapangan Banteng dan Monas.
Sumber : Arsip Nasional RI dan Journal UNY